Sabtu, 30 Juni 2018
Selasa, 05 Juni 2018
Selasa, 20 Maret 2018
HUKUM GRATIFIKASI
MAKALAH
HUKUM GRATIFIKASI
BAB I
PENDAHULUAN
Pada beberapa hari
terakhir ini, kita mungkin terus mengelus dada setiap kali membaca,
mendengarkan atau menonton berita yang ditayangkan di berbagai media. Bagaimana
tidak? Setiap hari atau mungkin setiap kali acara berita, selalu muncul berita
tentang kasus suap. Penyebabnya?, tentu saja karena mungkin kasus ini sudah
terlalu sering terjadi di Negeri ini, bahkan mungkin sudah merebak dimana-mana,
dalam berbagai jabatan dan tingkatan.
Permasalahan korupsi merupakan
permasalahan serius dalam suatu bangsa dan merupakan kejahatan yang luar biasa
serta dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak
tahun 1998, masalah pemberantasan dan pencegahan korupsi telah ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai salah satu agenda
reformasi, tetapi hasil yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal
ini berdampak semakin melemahkan citra Pemerintah dimata masyarakat, yang
tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat
terhadap hukum, dan bertambahnya jumlah angka kemiskinan absolut. Apabila tidak
ada perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut akan sangat membahayakan
kesatuan dan persatuan bangsa.
Cukup banyaknya
peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang dibuat sejak tahun 1957,
sebenarnya memperlihatkan besarnya niat bangsa Indonesia untuk memberantas
korupsi hingga saat ini, baik dari sisi hukum pidana material maupunhukum
pidana formal (hukum acara pidana). Namun demikian, masih ditemui kelemahan
yang dapat disalahgunakan oleh pelaku korupsi untuk melepaskan diri dari jerat
hukum. Terlepas dari kuantitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan,
permasalahan utama pemberantasan korupsi juga berhubungan erat dengan sikap dan
perilaku. Struktur dan sistem politik yang korup telah melahirkan apatisme dan
sikap yang cenderung toleran terhadap perilaku korupsi. Akibatnya sistem sosial
yang terbentuk dalam masyarakat telah melahirkan sikap dan perilaku yang
permisif dan menganggap korupsi sebagai suatu hal yang wajar dan normal. Akibatnya
korupsi pun menjadi hal yang biasa. Termasuk didalam kebiasaan melakukan
pungutan tambahan atas proses pengurusan pembayaran pajak, perijinan,
pengurusan pasport dan pengurusan KTP, maupun penerimaan baik berupa barang
atau uang yang diterima oleh penyelenggara negara maupun pegawai negeri apabila
ada kaitan langsung terhadap tugasnya. Maka penerimaan tersebut dapat
dikategorikan penerimaan gratifikasi. Di dalam Undang-undang No.20 tahun 2001 pasal
12B pemberian gratifikasi tersebut dianggap perbuatan suap dan masuk kategori
korupsi.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
- Mengapa
Gratifikasi sangat dilarang dalam Birokrasi Pelayanan Publik?
- Apakah
semua pemberian dapat dikategorikan Gratifikasi?
- Bagaimana
tata cara pelaporan Gratifikasi?
BAB III
PEMBAHASAN
- Larangan
gratifikasi dalam Birokrasi Pelayanan Publik
Kalau berbicara mengenai Korupsi, pasti hal ini
sangat erat kaitannya dengan Pemberian, Hadiah, diskoun dan rabat. Tapi dari
beberapa Hal diatas tanpa kita sadari hal tersebut merupakan ruang lingkup
Korupsi Khususnya dalam hal Gratifikasi. Dari berbagai jenis korupsi yang
diatur dalam undang-undang, gratifikasi merupakan suatu hal yang relatif baru
dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Gratifikasi diatur
dalam Pasal 12B Undang-Undang tersebut di atas. Dalam penjelasan pasal
tersebut, gratifikasi didefinisikan sebagai suatu pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, yang diterima di dalam negeri maupun yang di
luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronika maupun
tanpa sarana elektronika. Meskipun sudah diterangkan di dalam undangundang,
ternyata masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami definisi
gratifikasi, bahkan para pakar pun masih memperdebatkan hal ini. Dengan latar
belakang rendahnya pemahaman masyarakat Indonesia atas gratifikasi yang
dianggap suap sebagai salah satu jenis tindak pidana korupsi.
Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif.
Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus
dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk
“tanda kasih” tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah
pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah
membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi
kepentingan, misalnya dalam mengurus pajak, seseorang memberikan uang tips pada
salah satu petugas agar pengurusan pajaknya dapat diurus dengan segera. Hal ini
juga sangat merugikan bagi orang lain dan perpektif dan nilai-nilai keadilan
dalam hal ini terasa dikesampingkan hanya karena kepentingan sesorang yang
tidak taat pada tata cara yang telah ditetapkan. Dengan demikian secara
perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek, namun harus dilihat
dari kepentingan gratifikasi. Di negara-negara maju, pemberian gratifikasi bagi
kalangan birokrat dilarang keras. Karena hal tersebut dapat mengakibatkan
bocornya keuangan negara yang diakibatkan dari pembuatan kebijakan ataupun
keputusan yang independen. Bahkan dikalangan swasta pun gratifikasi dilarang
keras dan diberikan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya. Sehingga, pelarangan
gratifikasi dalam ruang lingkup Pelaksanaan Kegiatan Birokrasi Pelayanan
Masyarakat pun perlu dilarang dan diberi sanksi yang tegas bagi para
pelakunya. Hal ini dikarenakan Pelaksanaan Kegiatan Birokrasi Pelayanan
Masyarakat sebagai salah satu sektor strategis yang menguasai atau mempengaruhi
hajat hidup masyarakat banyak. Bank Dunia pun seiring dengan semakin maraknya
upaya pemberantasan korupsi, telah menempatkan tata pemerintahan (governance)
di barisan depan dan pusat strategi pembangunannya, menerapkan porsi besar
analisisnya, memberikan pinjaman serta sumber daya-sumber daya
pengawasannya untuk membantu memperbaiki tata pemerintahan dan
akuntabilitas.Pelarangan tentang kegiatan gratifikasi sendiri sudah diatur
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun dalam
suatu Kegiatan Birokrasi Pelayanan Publik, hal ini belum sepenuhnya
dipatuhi dan dilakukan oleh semua Birokrasi pelayanan publik yang ada. Padahal
masalah ini bersifat vital dan dapat mempengaruhi kinerja birokrasi selain
daripada merugikan Birokrasi pelayanan publik itu sendiri dan masyarakat
banyak. Pengaturan mengenai pelarangan gratifikasi di dalam Birokrasi pelayanan
publik sendiri hanya secara tak kasat mata, sehingga tidak memberi efek
pencegahan ataupun sanksi yang jelas bagi pelanggarnya demi kelangsungan
berdasarkan tata kelola sistem pelayanan publik yang baik.
- Pemberian
dalam konsep Gratifikasi
Istilah Gratifikasi berasal dari bahasa
Belanda “gratikatie“ yang diadopsi dalam bahasa Inggris
menjadi “gratification“ yang artinya “pemberian
sesuatu/hadiah“. Black’s Law Dictionary memberikan pengertian
gratifikasi atau Gratification adalah sebagai “a
voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat
diartikan sebagai “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu
bantuan atau keuntungan”. Kita terkadang sangat sulit membedakan antara “
hadiah (gift) “ dengan “ suap (bribe) “
ketika berhadapan dengan pejabat.
Dari penjabaran diatas, jelas gratifikasi berbeda
dengan hadiah dan sedekah. Hadiah dan sedekah tidak terkait dengan kepentingan
untuk memperoleh keputusan tertentu, tetapi motifnya lebih didasarkan pada
keikhlasan semata. Gratifikasi jelas akan mempengaruhi integritas, independensi
dan objektivitasnya keputusan yang akan diambil seorang pejabat/penyelenggara
negara terhadap sebuah hal. Didalam Pasal 12 B Ayat (1) No. 31 Tahun 1999 jo UU.
No. 20 Tahun 2001 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “gratifikasi” adalah
pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik.
Pemikiran untuk menjaga kredibilitas seorang
penyelenggara negara inilah yang menjadi landasan gratifikasi masuk dalam kategori
delik suap dan diancam dengan sanksi pidana didalam ketentuan Pasal 12 B ayat
(1) dan (2) UU. No. 31 Tahun 1999 jo UU. No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(1) “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya” dengan ketentuan:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap
dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun,
dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dilihat dari perumusan ketentuan yang terdapat dalam
pasal 12 B ayat (1), “gratifikasi”bukan merupakan kualifikasi dari
tindak pidana korupsi tentang gratifikasi, tetapi hanya merupakan unsur dari
tindak pidana korupsi tentang gratifikasi.
Di negara-negara maju, gratifikasi kepada kalangan
pejabat ini dilarang keras dan kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat,
karena akan mempengaruhi pejabat tersebut dalam menjalankan tugas dan
pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelayanan
publik.
Namun Pasal 12 C UU. No. 31 Tahun 1999 jo UU.
No. 20 Tahun 2001 ini sebenarnya telah memberikan pengecualian mengenai delik
gratifikasi ini sendiri, dimana ditegaskan bahwa: Ketentuan setiap gratifikasi
dianggap pemberian suap tidak berlaku, jika penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penyampaian laporan wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima
laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau
milik negara.
Dalam analisa yuridis dari ketentuan pasal 12B dan
pasal 12 C UU. NO. 31 Tahun 1999 JO UU. No. 20 Tahun 2001:
a). Gratifikasi sesungguhnya merupakan delik korupsi yang
unik. Tidak seperti lazimnya delik pidana lain, gratifikasi ternyata
mensyaratkan tenggat waktu untuk ‘‘naik status menjadi delik pidana sempurna’’.
Jadi tidak mungkin ada kejadian “tertangkap tangan” dalam kasus gratifikasi;
b). Gratifikasi
yang terindikasi suap, ternyata dibagi menjadi dua jenis berdasarkan jumlah dan
beban pembuktiannya: kategori pertama, jika gratifikasi nilainya Rp 10
juta atau lebih, maka beban Pembuktian gratifikasi tersebut bukan suap berada
di tangan penerima, sedangkan kategori kedua, jika kurang dari Rp 10 juta
maka penuntut umum yang harus membuktikan bahwa gratifikasi itu tergolong suap
atau bukan.
c). Didalam
penjelasan umum undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan: “ketentuan
mengenai pembuktian terbalik perlu ditambahkan dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagai ketentuan yang bersifat Premium Remedium dan sekaligus
mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri
sebagai mana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelengaraan negara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, kolusi dan nepotisme
untuk tidak melakukantindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik ini
diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi… dan seterusnya.”
Yang dimaksud dengan “tindak pidana baru tentang
Gratifikasi” dalam penjelasan umum tersebut adalah tindak pidana korupsitentang
gratifikasi yang nilainya Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih
sebagai manadimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) huruf a.
Yang merupakan tindak pidana dari ketentuan yang
terdapat dalam pasal 12 B ayat (1) tersebut bukan mengenai “pemberian
gratifikasi” tetapi mengenai “penerimaan gratifikasi”.
d). UU TIPIKOR
juga memberi “Peluang Lolos” bagi penerima gratifikasi dari ancaman
pidana. Syaratnya mudah, cukupo melapor. Pasal 12C menyatakan,
bahwa gratifikasi tidak berlaku jika penerima gratifikasi melapor ke KPK
dan dilakukan paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak gratifikasi diterima.
- Tata
cara pelaporan Gratifikasi
Ada beberapa pejabat/mantan pejabat yang
melaporkan/mengembalikan uang atau barang yang patut diduga berhubungan gratifikasi melebihi
batas waktu 30 (tiga puluh) hari, namun statusnya tidak ditetapkan sebagai
tersangka. Jadi penerapan Pasal mengenai Gratifikasi ini sebenarnya masih
tumpul.
Gratifikasi ini erat sekali hubungannya dengan
penghasilan pegawai negeri kita yang relative masih sangat kecil, sehingga
pemberian / gratifikasi ini dianggap sebagai penghasilan tambahan. Gratifikasi
merupakan salah satu bentuk Tindak Pidana Korupsi bila dapat dibuktikan apakah
ketika gratifikasi itu terjadi bertentangan atau berlawanan dengan kewajiban
dan tugasnya selaku pegawai negeri sipil/penyelenggara negara atau tidak.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 12C UU. No. 31 Tahun
1999 jo UU. No. 20 Tahun 2001 laporan wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja disampaikan
secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan
gratifikasi.
Formulir pelaporan ini sekurang-kurangnya memuat :
- Nama
dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
- Jabatan
pegawai negeri atau penyelenggara negara;
- Tempat
dan waktu penerima gratifikasi;
- Uraian
jenis gratifikasi yang diterima danNilai gratifikasi yang diterima.
Untuk selanjutnya KPK mencatat dan menentukan status
kepemilikan gratifikasi yang ditetapkan dengan keputusan pimpinan Komisi
Pemberantas Korupsi, apakah gratifikasi tersebut masih status kepemilikan si
penerima gratifikasi atau menjadi milik negara.
BAB IV
KESIMPULAN
- Gratifikasi
merupakan pemberian dalam bentuk hadiah, diskon, komisi
pinjaman tanpa bunga dan masih banyak contoh lain yang bisa dijadikan
Gratifikasi. Tanpa disadari, hal tersebut merupakan kegiatan korupsi yang
dapat merugikan masyarakat banyak terutama dalam bidang pelayanan publik,
misalnya dalam pengurusan Pajak secara cepat dengan memberikan uang tambah
atau uang terim akasih kepada petugas pelayanan publik. Hal tersebut sudah
merupakan kegiatan Korupsi, dimana selain mengajari para karyawan tentang
suap baik secara tidak langsung, hal demikian juga telah menghilangkan
nilai-nilai keadilan bagi mereka yang telah antrian dalam pengurusan
pajak. Sehingga hal ini menimbulkan ketidakadilan dalam pelayanan publik
dan mengajari para karyawan pada hal yang salah. Walaupun batas minimum
belum ada, namun ada usulan pemerintah melalui Menkominfo pada tahun 2005
bahwa pemberian dibawah Rp. 250.000,- supaya tidak dimasukkan ke dalam
kelompok gratifikasi. Namun hal ini belum diputuskan dan masih dalam
wacana diskusi
- Gratifikasi
dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian
hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain
tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk “tanda kasih” tanpa
mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah
dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya
dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan,
misalnya dalam mengurus pajak, seseorang memberikan uang tips pada salah
satu petugas agar pengurusan pajaknya dapat diurus dengan segera. Hal ini
juga sangat merugikan bagi orang lain dan perpektif dan nilai-nilai
keadilan dalam hal ini terasa dikesampingkan hanya karena kepentingan
sesorang yang tidak taat pada tata cara yang telah ditetapkan. Dengan
demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek,
namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi
- Sesuai dengan pasal 16 undang-undang nomor 30 tahun 2002 maka setiap pegawai negeri atau penyelenggaraan negara yang menerima gratifikasi, wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantas Korupsi sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka si penerima gratifikasi dapat dijerat perbuatan tindak pidana Korupsi dengan hukuman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi.2001. Masalah Penegakkan
Hukumdan Kebijakan penanggulangan
Kejahatan. Bandung: citra Aditya Bakti.
Hartati Evi. 2007. Tindak Pidana Korupsi. Edisi
kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Wiryono R. 2007. Pembahasan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Cet.
II.Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Cet.
III. Jakarta. Asa Mandiri. 2007.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Cet. III. Jakarta. Asa Mandiri. 2007.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2001 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Cet. III. Jakarta. Asa Mandiri. 2007.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang
Tata cara Pelaksanaan Peran serta
masyarakat dan pemberian penghargaan dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Langganan:
Postingan (Atom)