Selasa, 20 Maret 2018

HUKUM GRATIFIKASI


MAKALAH HUKUM GRATIFIKASI

BAB I
PENDAHULUAN

Pada beberapa hari terakhir ini, kita mungkin terus mengelus dada setiap kali membaca, mendengarkan atau menonton berita yang ditayangkan di berbagai media. Bagaimana tidak? Setiap hari atau mungkin setiap kali acara berita, selalu muncul berita tentang kasus suap. Penyebabnya?, tentu saja karena mungkin kasus ini sudah terlalu sering terjadi di Negeri ini, bahkan mungkin sudah merebak dimana-mana, dalam berbagai jabatan dan tingkatan.
Permasalahan korupsi merupakan permasalahan serius dalam suatu bangsa dan merupakan kejahatan yang luar biasa serta dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak tahun 1998, masalah pemberantasan dan pencegahan korupsi telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi hasil yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini berdampak semakin melemahkan citra Pemerintah dimata masyarakat, yang tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan bertambahnya jumlah angka kemiskinan absolut. Apabila tidak ada perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut akan sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.
Cukup banyaknya peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang dibuat sejak tahun 1957, sebenarnya memperlihatkan besarnya niat bangsa Indonesia untuk memberantas korupsi hingga saat ini, baik dari sisi hukum pidana material maupunhukum pidana formal (hukum acara pidana). Namun demikian, masih ditemui kelemahan yang dapat disalahgunakan oleh pelaku korupsi untuk melepaskan diri dari jerat hukum. Terlepas dari kuantitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan, permasalahan utama pemberantasan korupsi juga berhubungan erat dengan sikap dan perilaku. Struktur dan sistem politik yang korup telah melahirkan apatisme dan sikap yang cenderung toleran terhadap perilaku korupsi. Akibatnya sistem sosial yang terbentuk dalam masyarakat telah melahirkan sikap dan perilaku yang permisif dan menganggap korupsi sebagai suatu hal yang wajar dan normal. Akibatnya korupsi pun menjadi hal yang biasa. Termasuk didalam kebiasaan melakukan pungutan tambahan atas proses pengurusan pembayaran pajak, perijinan, pengurusan pasport dan pengurusan KTP, maupun penerimaan baik berupa barang atau uang yang diterima oleh penyelenggara negara maupun pegawai negeri apabila ada kaitan langsung terhadap tugasnya. Maka penerimaan tersebut dapat dikategorikan penerimaan gratifikasi. Di dalam Undang-undang No.20 tahun 2001 pasal 12B pemberian gratifikasi tersebut dianggap perbuatan suap dan masuk kategori korupsi.

BAB II
RUMUSAN MASALAH

  1. Mengapa Gratifikasi sangat dilarang dalam Birokrasi Pelayanan Publik?
  2. Apakah semua pemberian dapat dikategorikan Gratifikasi?
  3. Bagaimana tata cara pelaporan Gratifikasi?
BAB III
PEMBAHASAN

  1. Larangan gratifikasi dalam Birokrasi Pelayanan Publik
Kalau berbicara mengenai Korupsi, pasti hal ini sangat erat kaitannya dengan Pemberian, Hadiah, diskoun dan rabat. Tapi dari beberapa Hal diatas tanpa kita sadari hal tersebut merupakan ruang lingkup Korupsi Khususnya dalam hal Gratifikasi. Dari berbagai jenis korupsi yang diatur dalam undang-undang, gratifikasi merupakan suatu hal yang relatif baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang tersebut di atas. Dalam penjelasan pasal tersebut, gratifikasi didefinisikan sebagai suatu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, yang diterima di dalam negeri maupun yang di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronika maupun tanpa sarana elektronika. Meskipun sudah diterangkan di dalam undangundang, ternyata masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami definisi gratifikasi, bahkan para pakar pun masih memperdebatkan hal ini. Dengan latar belakang rendahnya pemahaman masyarakat Indonesia atas gratifikasi yang dianggap suap sebagai salah satu jenis tindak pidana korupsi.
Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk “tanda kasih” tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan, misalnya dalam mengurus pajak, seseorang memberikan uang tips pada salah satu petugas agar pengurusan pajaknya dapat diurus dengan segera. Hal ini juga sangat merugikan bagi orang lain dan perpektif dan nilai-nilai keadilan dalam hal ini terasa dikesampingkan hanya karena kepentingan sesorang yang tidak taat pada tata cara yang telah ditetapkan. Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek, namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Di negara-negara maju, pemberian gratifikasi bagi kalangan birokrat dilarang keras. Karena hal tersebut dapat mengakibatkan bocornya keuangan negara yang diakibatkan dari pembuatan kebijakan ataupun keputusan yang independen. Bahkan dikalangan swasta pun gratifikasi dilarang keras dan diberikan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya. Sehingga, pelarangan gratifikasi dalam ruang lingkup Pelaksanaan Kegiatan Birokrasi Pelayanan Masyarakat  pun perlu dilarang dan diberi sanksi yang tegas bagi para pelakunya. Hal ini dikarenakan Pelaksanaan Kegiatan Birokrasi Pelayanan Masyarakat sebagai salah satu sektor strategis yang menguasai atau mempengaruhi hajat hidup masyarakat banyak. Bank Dunia pun seiring dengan semakin maraknya upaya pemberantasan korupsi, telah menempatkan tata pemerintahan (governance) di barisan depan dan pusat strategi pembangunannya, menerapkan porsi besar analisisnya, memberikan pinjaman serta sumber daya-sumber daya pengawasannya untuk membantu memperbaiki tata pemerintahan dan akuntabilitas.Pelarangan tentang kegiatan gratifikasi sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun dalam suatu  Kegiatan Birokrasi Pelayanan Publik, hal ini belum sepenuhnya dipatuhi dan dilakukan oleh semua Birokrasi pelayanan publik yang ada. Padahal masalah ini bersifat vital dan dapat mempengaruhi kinerja birokrasi selain daripada merugikan Birokrasi pelayanan publik itu sendiri dan masyarakat banyak. Pengaturan mengenai pelarangan gratifikasi di dalam Birokrasi pelayanan publik sendiri hanya secara tak kasat mata, sehingga tidak memberi efek pencegahan ataupun sanksi yang jelas bagi pelanggarnya demi kelangsungan berdasarkan tata kelola sistem pelayanan publik  yang baik.
  1. Pemberian dalam konsep Gratifikasi
Istilah Gratifikasi berasal dari bahasa Belanda “gratikatie“ yang diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi “gratification“ yang artinya “pemberian sesuatu/hadiah“. Black’s Law Dictionary memberikan pengertian gratifikasi atau Gratification adalah sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan sebagai “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”. Kita terkadang sangat sulit membedakan antara “ hadiah (gift) “ dengan “ suap (bribe) “ ketika berhadapan dengan pejabat.
Dari penjabaran diatas, jelas gratifikasi berbeda dengan hadiah dan sedekah. Hadiah dan sedekah tidak terkait dengan kepentingan untuk memperoleh keputusan tertentu, tetapi motifnya lebih didasarkan pada keikhlasan semata. Gratifikasi jelas akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya keputusan yang akan diambil seorang pejabat/penyelenggara negara terhadap sebuah hal. Didalam Pasal 12 B Ayat (1) No. 31 Tahun 1999 jo UU. No. 20 Tahun 2001 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “gratifikasi” adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pemikiran untuk menjaga kredibilitas seorang penyelenggara negara inilah yang menjadi landasan gratifikasi masuk dalam kategori delik suap dan diancam dengan sanksi pidana didalam ketentuan Pasal 12 B ayat (1) dan (2) UU. No. 31 Tahun 1999 jo UU. No. 20 Tahun 2001  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(1) “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya” dengan ketentuan:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian  bahwa  gratifikasi  tersebut  bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian  bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun,  dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dilihat dari perumusan ketentuan yang terdapat dalam pasal 12 B ayat (1), “gratifikasi”bukan merupakan kualifikasi dari tindak pidana korupsi tentang gratifikasi, tetapi hanya merupakan unsur dari tindak pidana korupsi tentang gratifikasi.
Di negara-negara maju, gratifikasi kepada kalangan pejabat ini dilarang keras dan kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena akan mempengaruhi pejabat tersebut dalam menjalankan tugas dan pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelayanan publik.
Namun Pasal 12 C UU. No. 31 Tahun 1999 jo UU. No. 20 Tahun 2001 ini sebenarnya telah memberikan pengecualian mengenai delik gratifikasi ini sendiri, dimana ditegaskan bahwa: Ketentuan setiap gratifikasi dianggap pemberian suap tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyampaian laporan wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
Dalam analisa yuridis dari ketentuan pasal 12B dan pasal 12 C UU. NO. 31 Tahun 1999 JO UU. No. 20 Tahun 2001:
a). Gratifikasi  sesungguhnya merupakan delik korupsi yang unik. Tidak seperti lazimnya delik pidana lain, gratifikasi ternyata mensyaratkan tenggat waktu untuk ‘‘naik status menjadi delik pidana sempurna’’. Jadi tidak mungkin ada kejadian “tertangkap tangan” dalam kasus gratifikasi;
b). Gratifikasi yang terindikasi suap, ternyata dibagi menjadi dua jenis berdasarkan jumlah dan beban pembuktiannya: kategori pertama, jika gratifikasi nilainya Rp 10 juta atau lebih, maka beban Pembuktian gratifikasi tersebut bukan suap berada di tangan penerima, sedangkan  kategori kedua, jika kurang dari Rp 10 juta maka penuntut umum yang harus membuktikan bahwa gratifikasi itu tergolong suap atau bukan.
c). Didalam penjelasan umum undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan: “ketentuan mengenai pembuktian terbalik perlu ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat Premium Remedium dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagai mana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelengaraan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, kolusi dan nepotisme untuk tidak melakukantindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi… dan seterusnya.”
Yang dimaksud dengan “tindak pidana baru tentang Gratifikasi” dalam penjelasan umum tersebut adalah tindak pidana korupsitentang gratifikasi yang nilainya Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih sebagai manadimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) huruf a.
Yang merupakan tindak pidana dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 12 B ayat (1) tersebut bukan mengenai “pemberian gratifikasi” tetapi mengenai “penerimaan gratifikasi”.
d). UU TIPIKOR juga memberi “Peluang Lolos” bagi penerima gratifikasi dari ancaman pidana. Syaratnya mudah, cukupo melapor. Pasal 12C menyatakan, bahwa gratifikasi tidak berlaku jika penerima gratifikasi melapor ke KPK dan dilakukan paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak gratifikasi diterima.

  1. Tata cara pelaporan Gratifikasi
Ada beberapa pejabat/mantan pejabat yang melaporkan/mengembalikan uang atau barang yang patut diduga berhubungan gratifikasi melebihi batas waktu 30 (tiga puluh) hari, namun statusnya tidak ditetapkan sebagai tersangka. Jadi penerapan Pasal mengenai Gratifikasi ini sebenarnya masih tumpul.
Gratifikasi ini erat sekali hubungannya dengan penghasilan pegawai negeri kita yang relative masih sangat kecil, sehingga pemberian / gratifikasi ini dianggap sebagai penghasilan tambahan. Gratifikasi merupakan salah satu bentuk Tindak Pidana Korupsi bila dapat dibuktikan apakah ketika gratifikasi itu terjadi bertentangan atau berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya selaku pegawai negeri sipil/penyelenggara negara atau tidak.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 12C UU. No. 31 Tahun 1999 jo UU. No. 20 Tahun 2001 laporan wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
Formulir pelaporan ini sekurang-kurangnya memuat :
  1. Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
  2. Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
  3. Tempat dan waktu penerima gratifikasi;
  4. Uraian jenis gratifikasi yang diterima  danNilai gratifikasi yang diterima.
Untuk selanjutnya KPK mencatat dan menentukan status kepemilikan gratifikasi yang ditetapkan dengan keputusan pimpinan Komisi Pemberantas Korupsi, apakah gratifikasi tersebut masih status kepemilikan si penerima gratifikasi atau menjadi milik negara.

BAB IV
KESIMPULAN
  1. Gratifikasi merupakan pemberian dalam bentuk hadiah, diskon, komisi pinjaman tanpa bunga dan masih banyak contoh lain yang bisa dijadikan Gratifikasi. Tanpa disadari, hal tersebut merupakan kegiatan korupsi yang dapat merugikan masyarakat banyak terutama dalam bidang pelayanan publik, misalnya dalam pengurusan Pajak secara cepat dengan memberikan uang tambah atau uang terim akasih kepada petugas pelayanan publik. Hal tersebut sudah merupakan kegiatan Korupsi, dimana selain mengajari para karyawan tentang suap baik secara tidak langsung, hal demikian juga telah menghilangkan nilai-nilai keadilan bagi mereka yang telah antrian dalam pengurusan pajak. Sehingga hal ini menimbulkan ketidakadilan dalam pelayanan publik dan mengajari para karyawan pada hal yang salah. Walaupun batas minimum belum ada, namun ada usulan pemerintah melalui Menkominfo pada tahun 2005 bahwa pemberian dibawah Rp. 250.000,- supaya tidak dimasukkan ke dalam kelompok gratifikasi. Namun hal ini belum diputuskan dan masih dalam wacana diskusi
  2. Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk “tanda kasih” tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan, misalnya dalam mengurus pajak, seseorang memberikan uang tips pada salah satu petugas agar pengurusan pajaknya dapat diurus dengan segera. Hal ini juga sangat merugikan bagi orang lain dan perpektif dan nilai-nilai keadilan dalam hal ini terasa dikesampingkan hanya karena kepentingan sesorang yang tidak taat pada tata cara yang telah ditetapkan. Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek, namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi
  3. Sesuai dengan pasal 16 undang-undang nomor 30 tahun 2002 maka setiap pegawai negeri atau penyelenggaraan negara yang menerima gratifikasi, wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantas Korupsi sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka si penerima gratifikasi dapat dijerat perbuatan tindak pidana Korupsi dengan hukuman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun,  dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi.2001. Masalah Penegakkan Hukumdan Kebijakan penanggulangan
Kejahatan. Bandung: citra Aditya Bakti.
Hartati Evi. 2007. Tindak Pidana Korupsi. Edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Wiryono R. 2007. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  Cet.
II.Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Cet.
III. Jakarta. Asa Mandiri. 2007.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Cet. III. Jakarta. Asa Mandiri. 2007.
Undang-Undang Nomor 30  Tahun 2001 Tentang Komisi  Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Cet. III. Jakarta. Asa Mandiri. 2007.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata cara Pelaksanaan Peran serta
masyarakat dan pemberian penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.